Dengan arsitektur yang sangat
mirip dengan Mesjid Agung. Itulah mesjid Ki Merogan, yang menunjukkan berbagai budaya
yang berkembang di masyarakat Palembang waktu itu, yaitu perpaduan antara
Melayu dan timur dengan ciri keterbukaan.
Masjid Kiai Merogan ini merupakan
masjid kedua yang dibangun di Palembang, setelah Masjid Agung. Masjid Kiai
Merogan didirikan pada tahun 1310 H atau 1890 M oleh ulama Palembang yang
sangat terkenal, yaitu Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Ana
Jika kita melongok ke tepian sungai Ogan di Kerta Pati, kita akan melihat
sebuah mesjid ng atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Merogan dengan biaya
sendiri. Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau Kiai
Merogan ini dilahirkan pada tahun 1811 M dari seorang ulama dan pedagang yang
sukses.
Kiai Merogan mendirikan masjid
tersebut dengan sebuah naskah yang terdapat tulisan “Nuzar Nujal Lillahi
Ta’alai” pada tanggal 6 Syawal 1310 H. Di masa
Kesultanan Palembang masjid ini punya peran yang strategis dalam
berbagai kegiatan keagamaan dan sosial masyarakatPalembang.
Kiai Merogan senantiasa
mengajarkan zikir kepada pengikutnya dengan cara yang unik. Apabila Beliau akan
pergi-pulang dari Masjid Kiai Merogan ke Masjid Lawang Kidul, sambil mengasuh
perahu Beliau dan pengikutnya bersama-sama menyenandungkan zikir secara
berulang-ulang. Karena itulah penduduk sekitar tahu kalau Kiai Merogan sedang
lewat dan sejak itulah Beliau dikenal dengan nama Kiai Merogan. Nama Kiai
Merogan sesuai dengan aktivitas Beliau yang sering berada di kawasan Muara
sungai Ogan yang airnya mengalir ke sungai Musi.
Tidak hanya Masjid Kiai Merogan
yang dibangun Kiai Merogan, tetapi Masjid Lawang Kidul yang berada di tepi
Sungai Musi, di daerah seberang ilir, kelurahan 5 ilir. Selain itu, Kiai
Merogan juga mendirikan masjid di desa Pedu, Pemulutan, OKI dan masjid di desa
Ulak Kerbau Lama, Pegagan Ilir, OKI. Sangat disayangkan, kebakaran yang terjadi
pada tahun 1964—1965 telah menghanguskan peninggalan karya tulis Kiai Merogan.
Semasa hidupnya, Ki Merogan
melakukan pelawatan ke Mekkah dan Saudi Arabia untuk menuntut ilmu
agama. Namun, selama berada di negeri orang, Beliau senatiasa terbayang dan
teringat pada “Si anak Yatim” yang berada di tepian Sungai Ogan dan tepian
Sungai Musi, yang tak lain adalah Masjid Kiai Merogan dan Masjid Lawang Kidul.
Kiai Merogan meninggalkan para
pendukungnya pada 31 Oktober 1901 dan dimakamkan di sekitar Masjid Kiai Merogan
Meskipun, Kiai Merogan telah lama tiada, makamnya dikeramatkan hingga kini
dan senantiasa ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah
untuk berdoa dan mendapat berkah.
Kiai Merogan dapat dipandang
sebagai sejarah kolektif (folk history). Cerita-cerita orang-orang suci
(legends of the saints) dapat terus hidup di tengah masyarakat
pendukungnya.
Cerita-cerita mengenai
kemujizatan, wahyu, permintaaan melalui sembahyang, kaul yang terkabul, dan
lain-lain dapat kita peroleh melalui pewarisan lisan dari waktu ke waktu, di
antaranya kisah mengenai ikan.
Pada suatu waktu ada pedagang
ikan yang berasal dari OKI membawa ikan yang hendak dijualnya
ke Palembang. Namun, ketika sampai di Palembang, semua ikan-ikan
tersebut mati. Lalu, pedagang itu teringat akan kemasyuran Kiai Merogan.
Kemudian pedagang tersebut menemui Kiai Merogan untuk meminta nasihat. Belum
sempat pedagang itu berkata sepatah katapun, Kiai Merogan langsung berkata,
“Insya’Allah, semua ikan-ikanmu hidup dan dapat dijual ke pasar!” Ketika sampai
di perahu, pedagang itu melihat seluruh ikan-ikannya hidup.
Kisah lainnya, ketika seseorang
ingin membuktikan kekeramatan Kiai Merogan dengan cara melepas seekor ikan yang
besar, sambil berkata “Hai ikan, pergilah Engkau menemui Kiai Merogan di Masjid
Merogan sebagai hadiah dariku!” beberapa hari kemudian, orang tersebut menemui
Ki Merogan. Belum sempat mengutarakan maksudnya, sang Kiai lebih dulu
menyapanya dan berkata kalau kirimannya sudah sampai dan diterima dengan baik.
Kiai Merogan memang telah lama
tiada, namun peninggalannya tetap abadi dan berdiri kokoh. Kisah, perjuangan,
dan ajarannya senantiasa hidup, hadir, dan menjadi teladan masyarakat
pendukungnya dari waktu ke waktu.