Kota
Palembang hingga kini masih dipercayai masyarakat Melayu sebagai tanah
leluhurnya. Menurut kisah, di kota inilah hadir seorang tokoh yang menjadi
cikal bakal Raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit
Siguntang. Pada saat yang bersamaan, Kerajaan Sriwijaya runtuh, maka
bermunculan kekuatan-kekuatan lokal seperti Panglima Bagus Kuning di hilir
Sungai Musi, Si Gentar Alam di daerah Perbukitan, Tuan Bosai dan Junjungan Kuat
di daerah hulu Sungai Komering, Panglima Gumay di sepanjang Bukit Barisan.
Kemudian Parameswara meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama menuju
Tumasik. Tanah Tumasik diberi nama Singapura oleh Parameswara.
Pada
saat pasukan Majapahit akan menyerang Singapura, Parameswara bersama
pengikutnya pindah ke Malaka, kemudian mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa
keturunannya membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang
wilayah Thailand bagian selatan). Hubungan dagang yang kuat dengan orang–orang
Gujarat dan Persia menyebabkan perekonomian Malaka berkembang pesat. Kemudian
Parameswara memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar
Syah.
Kota
Palembang menjadi kota tak bertuan, tidak ada penguasa tunggal atas kota dagang
ini. Namun kegiatan perekonomian tetap berjalan. Perdagangan antarbangsa
berjalan dengan baik. Di kota ini pula bermukim para pembesar dan priyayi
pendukung utama Kesultanan Demak, penguasa baru tanah Jawa. Mereka menyingkir
dari Demak setelah kalah perang melawan Kerajaan Pajang pada tahun 1528.
Rombongan asal Demak ini dipimpin oleh Kiai Gedeng Suro atau Ki Gede Ing Suro.
Selain
pembesar dan priyayi, turut serta pula pasukan yang dipimpin oleh Raden Patah.
Mereka memilih Palembang sebagai tempat yang aman. Selain karena Raden Patah
(bergelar Jimbun Abdurrahman Panembahan Palembang Sayyidina Panatagama) adalah
bangsawan Demak kelahiran Palembang. Beliau tumbuh sejak kecil di kota ini
bersama ibunya, Putri Campa.
Raden
Patah, Ario Damar dan Pati Unus, adalah tokoh dibalik hancurnya Kerajaan
Majapahit. Mereka dikenal dari Ekspedisi Pamalayu. Raden Patah berhasil
membangun kembali Palembang setelah Kerajaan Sriwijaya secara perlahan mulai
melemah. Berselang kemudian, Majapahit mulai dilanda kekacauan, pemberontakan
dan pecahnya perang saudara.
Ario
Damar sendiri pada saat itu adalah seorang Mangkubumi Kerajaan Sriwijaya.
Beliau memeluk Islam sejak kedatangan Raden Rahmat. Menjadi seorang muslim, Ario
Damar mengganti namanya menjadi Ario Abdullah, yang populer dengan sebutan Ario
Dillah.
Kehadiran
Ki Gede Ing Suro di kota Palembang, memicu kedatangan pemukim-pemukim muslim
baru dari Demak, Pajang dan Mataram. Mereka datang ke Palembang demi menghindari
konflik politik berkepanjangan di tanah Jawa.
Sebuah
kerajaan Islam di Palembang akhirnya resmi berdiri pada tahun 1552 secara
politik dari Kesultanan Demak. Adalah Ki Mas Hindi, disebut pula Pangeran Ratu
atau Pangeran Ario Kusuma Abdurrohim, yang memiliki nama lain, Susuhunan
Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam, sebagai Sultan pertama kerajaan
Islam di tanah Palembang. Beliau bergelar Sultan Jamaluddin Candi Walang, atau
Sultan Ratu Abdul Rahman. Kerajaan Islam ini diberi nama Kesultanan Palembang
Darussalam.
Sultan
Jamaluddin kemudian diganti oleh Sultan Mansyur. Beliau didampingi seorang
ulama besar, Tuan Faqih Jalaluddin. Setelah Sultan Mansyur, Kesultanan
Palembang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin, yang dikenal pula sebagai
Sultan Lemah Abang.
Kesultanan
Palembang Palembang Darussalam menggabungkan kebudayaan maritim peninggalan
Sriwijaya dan budaya agraris Majapahit. Palembang kemudian berkembang menjadi
pusat perdagangan yang paling besar di Semenanjung Malaka. Hadirnya Kesultanan
Palembang Darussalam ini menjadi lembaran baru bagi kota Palembang sejak
keruntuhan Sriwijaya. Hukum Islam diterapkan dalam aturan tatanegara dan
ekonomi.
Ki
Gede Ing Suro merupakan tokoh utama dibalik berdirinya Kesultanan Palembang
Darussalam. Setelah wafat pada tahun 1587, beliau dimakamkan di sebuah daerah
yang kini berada di Kelurahan I Ilir, kota Palembang. Setelah beliau
dimakamkan, berturut-turut dimakamkan para pembesar Demak lainnya dan
keluarganya, hingga mencapai 38 makam. Kompleks pemakaman ini kemudian dikenal
sebagai Taman Purbakala Ki Gede Ing Suro.
Kompleks
makam berupa bangunan fondasi yang terdiri dari tiga bangunan utama. Bangunan
pertama memiliki luas 54 meter persegi, dengan tinggi 1,2 meter. Bangunan ini
berdiri diatas dua lapik, lapik pertama berukuran 7 meter x 3,7 meter. Lapik
kedua berukuran 16 meter x 11 meter. Diatasnya berdiri batur dengan tangga
masuk yang berada di sisi selatan. Pada dinding batur terdapat panil berbentuk
bujursangkar berpola hias geometris. Pada teras makam terdapat dua nisan dari
kayu persegi pipih.
Bangunan
kedua memiliki ukuran 8,45 meter x 5 meter dengan tinggi 90 sentimeter. Berdiri
diatas satu lapik. Pola hias tangga sama dengan bangunan pertama. Disini
terdapat tiga makam, dua makam di sisi utara, dan satu makam di sisi selatan.
Jirat makam di sisi selatan berbentuk persegi panjang. Nisan makam terbuat dari
batu andesit, puncaknya berbentuk kurawal dengan ujung meruncing.
Bangunan
ketiga adalah yang terbesar, memiliki ukuran 8,75 meter x 9 meter. Memiliki
teras berukuran 12,5 meter x 11,5 meter. Hiasan bangunan utama berupa ukiran
bunga dan geometris. Pada teras hiasannya berupa sulur. Diatas bangunan
terdapat tiga nisan makam yang bentuknya sama dengan bangunan kedua.