Masjid Cheng Hoo Palembang sebenarnya bernama Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo
Sriwijaya Palembang adalah Masjid bernuansa Muslim Tionghoa yang berlokasi di Jakabaring Palembang. Masjid ini didirikan atas prakarsa
para sespuh, penasehat, pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
Sumsel, dan serta tokoh masyarakat Tionghoa di sekitar Palembang.Mesjid yang didirikan warga keturunan
ini juga memiliki imam baru yang sudah hafal 30 juz dari kitab suci umat Islam,
Al-Quran yaitu Choirul Rizal.
Keberadaan Laksamana Cheng
Ho
tak dipisahkan dari Palembang. Sejak melakukan pelayaran
mengelilingi dunia, Cheng Ho sempat tiga kali datang ke Palembang. Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan
Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424),
kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He,
juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao (馬 三保),
berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan
Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah
seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun
beragama Islam.
Alam penyebaran Islam di Indonesia, selain dilakukan para pedagang
dari Arab dan sekitarnya, ternyata para pedagang asal Tionghoa ikut berperan menyebarkan Islam
di daerah pesisir Palembang. Di sini pula peran Laksamana Cheng Ho dalam
menyebarkan Islam di Palembang. Armada Cheng Ho sebanyak 62 buah kapal
dan tentara yang berjumlah 27.800 yang dipimpinnya itu pernah empat kali
berlabuh di pelabuhan tua di Palembang. Pada 1407 Kota Palembang yang berada di
bawah kekuasaan Sriwijaya pernah meminta bantuan armada Tiongkok yang ada di
Asia Tenggara untuk menumpas perampok-perampok Tionghoa Hokkian yang mengganggu
ketenteraman. Kepala perampok Chen Tsu Ji tersebut berhasil diringkus dan
dibawa ke Peking. Semenjak itu, Laksamana Cheng Ho membentuk masyarakat
Tionghoa Islam di Kota Palembang yang memang sudah ada sejak zaman Sriwijaya
banyak didiami orangorang Tionghoa. Gerombolan perompak yang dipimpin Chen Tsu
Ji, sebenarnya bekas seorang perwira angkatan laut China asal Kanton. Dia
melarikan diri ketika Dinasti Ming berkuasa. Pelariannya berlabuh di Palembang.
Kedatangannya ke Palembang telah membuat resah para pedagang yang singgah.
Sebab, Chen Tsu Ji membawa ribuan pengikutnya dan membangun basis kekuasaan di
Palembang, atau dalam bahasa China, po-lin-fong, yang berarti ”pelabuhan tua.”
Selama berkuasa di Palembang, Chen Tsu Ji menguasai daerah sekitar muara Sungai
Musi, perairan Sungsang, dan Selat Bangka. Anak buah Chen Tsu Ji merompak semua
kapal yang melintasi perairan itu. Kebetulan atau tidak, daerah-daerah itu
sampai kini jadi kantung-kantung bandit Palembang. Selama perjalanan Cheng Ho
antara 1405–1433 M, dia pernah empat kali ke Palembang. Tahun 1407 masehi,
armada Cheng Ho mampir ke Palembang dalam rangka menumpas perompak yang
dipimpin Chen Tsui Ji tersebut. Kemudian, pada tahun 1413–1415M, 1421–1422M,
dan tahun 1431–1433 M, armada Cheng Ho berlabuh ke Palembang. Setelah
memberantas para perampok, Laksamana Cheng
Ho
berlabuh hingga tiga kali ke Palembang. Namun, tidak ada yang tahu maksud dan
tujuannya.
Pendirian
Masjid Agung pada mulanya disebut
Masjid Sultan. Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada
hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748. Masjid Agung
didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo
(tahun 1724-1758).
Masjid Agung Palembang bagian
dari peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam, dan menjadi salah satu masjid
tertua di Kota Palembang. Masjid ini berada di utara Istana Kesultanan
Palembang, di belakang Benteng Kuto Besak yang berdekatan dengan aliran sungai
Musi. Secara administratif, berada di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat
I, tepat di pertemuan Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang.
Masjid Agung Palembang mulai
dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.
Pembangunan berlangsung selama 10 tahun dan resmi digunakan sebagai tempat
peribadatan umat muslim Palembang pada tanggal 28 Jumadil Awal 1161 H atau 26
Mei 1748 M.
Masjid Agung 1753 Awalnya masjid ini bernama Masjid
Sultan, dan belum memiliki menara. Bentuk masjid hampir bujursangkar, memiliki
ukuran 30 meter x 36 meter. Dengan luas mencapai 1080 meter persegi, konon,
Masjid Sultan merupakan masjid terbesar di nusantara yang mampu menampung 1200 jema’ah.
Arsitektur
Arsitektur
Masjid Sultan
dirancang oleh seorang arsitek dari Eropa. Konsep bangunan masjid memadukan
keunikan arsitektur Nusantara, Eropa dan Cina. Gaya khas arsitektur Nusantara
adalah pola struktur bangunan utama berundak tiga dengan puncaknya berbentuk
limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak masjid atau mustaka memiliki jenjang
berukiran bunga tropis. Pada bagian ujung mustaka terdapat mustika berpola
bunga merekah. Bentuk undakan bangunan masjid dipengaruhi bangunan dasar candi
Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak.
Atap masjid berbentuk
limas, terdiri dari tiga tingkat. Pada bagian atas sisi limas atap terdapat
jurai daun simbar menyerupai tanduk kambing yang melengkung. Setiap sisi limas
memiliki 13 jurai. Bentuk jurai melengkung dan lancip. Rupa ini merupakan
bentuk atap kelenteng Cina. Ciri khas arsitektur Eropa terdapat pada rupa
jendela masjid yang besar dan tinggi. Pilar masjid berukuran besar dan memberi
kesan kokoh. Material bangunan seperti marmer dan kaca diimpor langsung dari
Eropa.
Pembangunan Menara
Pada masa
pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (masa pemerintahan 1758–1774) menara masjid
dibangun. Lokasi menara masjid terpisah dari bangunan utama, dan berada di
bagian barat. Pola menara masjid berbentuk segi enam setinggi 20 meter. Rupa
menara masjid menyerupai menara kelenteng. Bentuk atap menara melengkung pada
bagian ujungnya, dan beratap genteng. Menara masjid memiliki teras berpagar
yang mengelilingi bangunan menara
Arsitektur Masjid Agung dan
masjid tua lainnya di Palembang secara simbolik memiliki nilai filosofis yang
tinggi. Undakan pelataran masjid dan tingkatan atap yang berjumlah tiga memberi
makna perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hamka (1961)
menafsirkan atap tumpang sebagai berikut: Tingkat pertama melambangkan Syariah
serta amal perbuatan manusia. Tingkat kedua melambangkan Thariqat yaitu jalan
untuk mencapai ridlo Allah SWT. Atap tingkat ke tiga melambangkan Hakikat,
yaitu ruh atau hakekat amal perbuatan seseorang. Sedangkan Puncak (Mustoko)
melambangkan Ma’rifat, yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.
Dalam sejarahnya, masjid yang
berada di pusat Kesultanan Palembang Darussalam menjadi pusat kajian Islam yang
telah melahirkan sejumlah ulama besar. Syekh Abdus Shamad al-Palembani, Kemas
Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah, adalah beberapa ulama yang pernah
menjadi Imam Besar Masjid Agung. Peran para ulama ini sangat besar dalam
mengembangkan agama Islam di wilayah Kesultanan Palembang. Konsep pengajaran
Islam diturunkan kedalam lingkup amal (praktik) dan ilmu (wacana), sehingga
mudah diterima dan diamalkan oleh masyarakat muslim Palembang.
Saksi Sejarah
Masjid Agung Palembang menyimpan
kenangan tak terlupakan sepanjang masa. Ia menjadi saksi perjuangan rakyat
Palembang pada pertempuran lima hari melawan Belanda di pusat kota. Pertempuran
bermula pada tanggal 1 Januari 1947. Pejuang Republik awalnya menyerang RS
Charitas. Keesokan harinya Belanda membalas serangan dengan kekuatan penuh
menuju pusat komando pejuang Republik yang berada di Masjid Agung Palembang.
Batalyon Geni merapatkan barisan bersama berbagai tokoh masyarakat demi
mempertahankan masjid dari kehancuran. Pejuang Republik berhasil bertahan,
tentara Belanda mundur akibat kekurangan pasokan. Pada saat yang bersamaan
bantuan pasukan Belanda yang datang dari Talangbetutu berhasil dihadang oleh
pasukan Republik dibawah Letnan Satu Wahid Luddien.
Belanda
melancarkan kembali serangan pada hari ketiga. Kekuatan mereka lebih besar,
mendapat dukungan serangan udara dari pesawat – pesawat Mustang untuk
meluluhlantakkan kota Palembang. Namun upaya mereka gagal, kememangan kembali
diraih setelah pasukan Ki.III/34 berhasil menenggelamkan satu kapal Belanda
yang penuh dengan mesiu, meskipun harus menelan korban banyak akibat bombardir
serangan udara pesawat Mustang Belanda.
Pada hari keempat, bantuan
pasukan Republik yang akan bergabung di Masjid Agung Palembang dihadang pasukan
Belanda di wilayah sekitar Simpang Empat BPM, Sekanak dan Kantor Karesidenan.
Pertempuran berlanjut hingga hari
kelima. Kekuatan Belanda langsung menuju jantung pertahanan pasukan Republik,
Masjid Agung Palembang. Pertempuran sengit terjadi, pasukan Mobrig pimpinan
Inspektur Wagiman dengan bantuan Batalyon Geni mampu mempertahankan garis
pertahanan sehingga pasukan Belanda gagal merangsek. Setelah melewati lima hari
pertempuran yang melelahkan, pihak Belanda menyatakan mundur. Disepakati
perjanjian Cease Fire oleh kedua belak pihak. Perjanjian ini menandakan
berakhirnya pendudukan Belanda dari wilayah kota Palembang.
Masjid ini menjadi perlambang sebuah semangat
perjuangan rakyat dalam mempertahanan hak hidup, hak menentukan nasib sendiri
dan hak merdeka sebagai manusia seutuhnya. Seiring gema adzan yang mengalun di
antara menara-menara besarnya, masjid ini tetap kokoh menjaga umat muslim dari
sebuah ketertindasan.