Solmisasi adalah sebuah sistem yang menggunakan suku kata berbeda untuk setiap nada yang ada di dalam tangga nada. Sistem ini pada mulanya sudah dipakai di India kuno. Di abad ke-6, seorang Uskup agung bernama Isidore mengeluhkan masalah tentang nada, “Jika suara tidak diingat, suara tersebut akan punah, karena suara tidak bisa dituliskan”. Kemudian seorang biarawan Benediktin yang juga ahli di bidang musik bernama Guido d’Arezzon memulai misinya untuk mencegah punahnya lagu-lagu suci.
Guido cukup mengetahui sistem solmisasi, dia mengatakan sebagian besar lagu gereja yang terkenal bisa dengan gampang dipelajari jika para penyanyi bisa mengetahui perubahan nada naik atau turun, dan dihubungkan dengan suara. Dia kemudian menetapkan sebuah suku kata untuk setiap nada yang ada di dalam tangga nada: Do, Re, Mi, Fa, Sol, La, Ti, Do. Mungkin beberapa dari kamu ada yang heran dengan not ke-5 karena ditulis “Sol”, padahal kita sering membacanya “So”. Hal ini disebabkan oleh not ke-6 diawali dengan abjad “L”, sehingga abjad terakhir dari not ke-5, yang juga “L”, tidak begitu terdengar jelas.
Suku kata-suku kata tersebut tidak dipilih secara acak. Suku kata-suku kata tersebut berasal dari Ut Queant Laxis, sebuah hymne yang cukup terkenal di abad pertengahan. Hymne ini dinyanyikan sebagai doa malam. Setiap baris dinyanyikan dengan nada satu tingkat lebih tinggi dari baris sebelumnya. Guido menggunakan suku kata pertama dari setiap baris, Utqueant laxis, Resonare fibris: Mire gestorum, Famuli tuorum: Solve, etc. Karena “Ut” agak sulit dilafalkan, Guido menggantinya dengan kata “Do”.
Jadi apakah metode yang diciptakan Guido ini cukup berguna? Dua orang yang memiliki pengaruh besar dan sangat sukses dalam dunia teater musikal yang bernama Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein mengatakan, “Jika kita mengetahui nada yang dinyanyikan, kita bisa menyanyikan apapun!”.
sumber: http://bacabaca.co.id/